Koheri Latief, Sandal Katrok Masuk Hotel (2)
NIKMATNYA MUSIM LIBURAN
Setiap bulan, rata-rata Koheri memproduksi 80 ribu pasang
sandal untuk menyuplai ke seluruh hotel dan rumah sakit yang menjadi kliennya, juga
agen-agen sandal. Namun angka produksi ini bisa meningkat hingga 2-3 kali lipat
ketika liburan sekolah, tahun baru, dan Lebaran.
Di ketiga musim ‘hot’ tersebut, permintaan dari hotel bisa
meningkat. Yang biasanya memesan seribu pasang, menjadi dua ribu pasang sandal.
Namun, di antara 3 musim ramai tersebut, Lebaran-lah yang paling mendapat perlakuan
istimewa. Pasalnya, tenaga kerja libur nyaris 2 minggu, sementara hotel malah sedang
ramai-ramainya dengan tamu. Belum lagi, perusahaan ekspedisi pun libur sejak
H-3 hingga H+3 hari raya.
Pada awal usahanya, Koheri pernah kelabakan hingga mengirim
barang sendiri ke kliennya karena sudah tidak ada perusahaan ekspedisi yang
beroperasi menjelang Lebaran. Hal tersebut dilakukannya demi menjaga kliennya
tidak berpindah ke lain hati. Padahal ongkos untuk pengiriman saja sudah cukup tinggi.
Belajar dari itu, Koheri mewanti-wanti customer-nya bahwa
batas waktu order adalah 3 minggu sebelum Lebaran. Barang dikirim beberapa hari
sebelum hari raya. Lewat dari masa itu, order yang datang terpaksa ditolaknya.
Mau tidak mau, hotel akan mengikuti aturan tersebut karena
tidak berani mengambil risiko kehabisan stok sandal saat pengunjung melimpah.
Sehingga jauh sebelum Lebaran, persediaan sandal mereka sudah cukup hingga beberapa
minggu pasca-Lebaran. Tapi, banyaknya permintaan saat musim liburan itu tak lantas
membuat Koheri menaikkan harga jualnya. Meskipun di saat Lebaran harga bahan
pokok menjulang, dia tetap menerapkan harga yang sama. Koheri menyadari sulit baginya
menaikkan harga sandal saat Lebaran, mengingat bahan bakunya, spons, yang
didapatnya dari Tangerang pun harganya relative stabil. Hanya saat harga BBM
naik, customer akan memaklumi jika Koheri meningkatkan harga sandalnya. “Kalau
beli gula, beli heras, menjelang Lebaran kan harga naik. Kalau saya mah tetep. Aneh
gitu. Pengennya ngaruh dong, biar saya juga rezekinya banyak,” ujarnya dengan
logat Sunda yang kental sambil tertawa. Namun sepanjang 8 tahun usaha sandal
ini, dia masih mampu memenuhi permintaan. Jika kekurangan modal, dia masih
dibantu oleh bank bjb yang sudah meminjaminya uang 3 kali, yakni Rp 25 juta
pada tahun 2005, Rp 30 juta pada tahun 2007, dan terakhir Rp 40 juta. Apalagi,
persaingan tampaknya tidak menjadi masalah. Usaha Koheri berada di kawasan
kotamadya, sementara perajin sandal lainnya biasanya berada di kawasan
kabupaten.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Koheri tidak punya
pesaing yang berarti. Ia memiliki akses yang jauh lebih besar untuk berhubungan
dengan hotel di mana pun. “Sengaja beda sendiri,” imbuh pria berusia 45 tahun
ini sambil tergelak. Pada prinsipnya, Koheri tidak pernah pilih pilih,
“Konsumen dari berbagai macam tingkat hotel, dari mulai hotel bintang satu
sampai lima dan diamond, semua saya layani.” Bahkan beberapa temannya
menjadikan sandal buatan Koheri sebagai oleh-oleh! Koheri menyikapinya dengan
santai. Selama ada peluang tersedia, Koheri yakin akan terus memanfaatkannya.
MANAJEMEN USAHA
Namun, yang namanya usaha, tidak selalu berjalan semanis
harapan. Koheri kembali harus menutup tempat usahanya pada tahun 2010 yang diprotes
warga sekitar karena bau lem yang menyeruak. “Padahal saya kurang apa ya sama
mereka? Ketika saya bikin usaha di situ, anak muda di sekelilingnya kan saya
rekrut. Walaupun, talentanya tidak ada. Dididik dulu,” tuturnya heran. Jadi, untuk sementara Koheri memproduksi sandal-sandal di 3
rumah kecil miliknya. Koheri masih mengincar daerah di pinggiran Cirebon untuk
menjadi tempat produksinya. ia beralasan, jika di pinggiran, bau lem yang
merebak saat pembuatan sandal tidak akan mengganggu penduduk sekitar. Namun tempatnya
masih dalam pencarian, alias belum ketemu.
Kesulitan mencari lokasi ini memang terkait dengan idealisme
Koheri untuk memberdayakan masyarakat sekitar namun mereka tetap tidak
terganggu dengan proses produksinya. “Kalau dapat seperti yang di Plered itu
enak,” ujarnya. “Tidak menimbulkan benturan dengan masyarakat sekitar,
mengingat di desa itu masyarakatnya juga perajin sandal.” Selain itu, dalam
waktu sepuluh tahun mendatang Koheri berharap sudah memiliki pabrik sendiri,
lengkap dengan kantor berkaca di atasnya, sehingga mudah mengawasi proses
produksi secara langsung. Dengan jumlah karyawan sekitar 30 orang per orangnya
bisa memproduksi 3 ribu pasang sandal per harinya—Koheri ingin agar produknya bisa
menjelajah pasar yang lebih luas lagi. Baru baru ini, dia sudah berhubungan
dengan calon klien dari Singapura yang meminta sampel dan mock up. Sayangnya,
hingga saat ini Koheri belum mendapat tanggapan positif. Selain itu, Koheri
juga ingin menjelajah pasar yang lebih besar, yakni Timur Tengah. Terkait
masalah tenaga kerja, kedepannya Koheri berencana memiliki karyawan professional
seperti kepala pabrik dan akuntan.
Namun, penggunaan tenaga profesional masih harus dilihat
dari kemampuan produksi dan pemasukan keuangan. Untuk saat ini, dengan kondisi
tempat usaha dan permodalan yang ada, menggunakan tenaga profesional hanya akan
menambah beban biaya produksi. Oleh sebab itu semua pekerjaan—mulai dari
pengawasan produksi, penggajian karyawan, penagihan, hingga penawaran
produk—masih dilakukan sendiri oleh Koheri dan istrinya. Koheri mengaku saat ini belum bisa mempercayakan orang luar
untuk mengurus manajemen usahanya karena khawatir ditipu. “Banyak kejadian
begitu manajemen diserahkan kepada orang luar, pengawasan oleh pemiliknya masih
lemah, sehingga banyak terjadi penipuan,” tuturnya. Dengan mengerjakan sendiri,
Koheri mengaku kadang terjadi perselisihan dengan istri, meskipun tidak pernah
besar. “Paling sekadar masalah salah pesan atau salah membeli,” ujarnya sambil
tertawa. Sementara untuk buruh kasar, Koheri mempekerjakan orang-orang di
sekitar lokasi usahanya yang dipilih berdasarkan kekerabatan dengan orang yang
telah bekerja sebelumnya.
Koheri menyerahkan urusan pelatihan keterampilan karyawan
baru pada orang yang membawanya, sebab kebanyakan dari mereka sama sekali belum
memiliki keterampilan. Biasanya, mereka akan menjadi terampil setelah bekerja
selama satu hingga tiga bulan. Namun untuk kesetiaan pegawainya, Koheri merasa
tidak memiliki jaminan. Bukan saja dibajak oleh perajin lain setelah memiliki keterampilan,
karyawan yang pergi pun kadang mencuri informasi tentang pemesanan sandal.
Padahal, persaingan di antara sesama produsen sandal hotel
sangat ketat, hingga masing-masing produsen menyembunyikan dengan baik siapa saja
pelanggan yang mereka miliki. Maka, ketika karyawan dibajak, info penting pun
bisa berpindah tangan. “Beberapa kali tiba-tiba pelanggan membagi dua pesanan,
satu kepada kita, satu lagi kepada saingan yang membajak karyawan kita itu,”
ujar Koheri prihatin.
Jika karyawan sudah terampil, sebenarnya menurut Koheri
tidak ada masalah lagi. Dalam bisnisnya, inovasi produk tidak terlalu dibutuhkan,
sebab konsumen sudah mempunyai bentuk standar masing-masing. Bagi Koheri, yang
lebih penting adalah menekan biaya produksi serendah-rendahnya yang dapat
dicapai dengan membuat produk dalam kuantitas sebanyak-banyaknya. Pembayaran honor pekerjanya dilakukan setiap akhir minggu
mengikuti tradisi upah mingguan yang berlaku dalam industri ini. Mungkin itulah
penyebab turunnya produktivitas pada setiap Senin, karena karyawan masih
terbawa suasana libur hari Minggu sehingga hari Senin kurang semangat bekerja. “Mereka
masuk semaunya dan jam kerja diabaikan,” kisahnya. Untuk mengatasi masalah tersebut,
Koheri menggunakan sistem borongan, yaitu memperpanjang jam kerja hari Sabtu.
Koheri memberi insentif lebih untuk setiap kelebihan produksi yang mereka
hasilkan pada hari Sabtu, sehingga kekurangan pada hari Senin dapat tertutupi.
Dia berkeyakinan, bisnis sandalnya masih menjanjikan dan
terbuka lebar untuk menyentuh seluruh hotel maupun rumah sakit di Indonesia.
“Modal berapa pun masuk, pasti habis. Begini, pasar kita ke nasional masih terbuka
luas. Sekarang modal saya sudah di atas Rp 100 juta. Ketika saya punya modal di
atas Rp 200 juta-300 juta, jelas dong lebih lebar, lebih luas. Ngisi ke
hotelnya lebih banyak,” ujarnya yakin.
Koheri mengaku kini sedang menikmati jadi pengusaha dengan
omzet Rp 100 juta per bulan, ketimbang kala menjadi pegawai. Menurutnya, dialah
yang menentukan besaran gajinya sendiri. Apalagi keuntungan usahanya mencapai
10-15 persen dari omzetnya per bulan. “Jadi pengusaha itu, gaji kita tetapkan
sendiri, saya pengen targetnya mau gaji berapa, Rp 10 juta, targetnya sekian,”
cerita bapak 4 anak yang ditemui di rumahnya di Taman Indah, Kecamatan
Harjamukti, Cirebon, dengan bangga.
Catatan Rhenald Kasali
USAHA KECIL ADALAH usaha pemula yang menggantungkan
keberhasi1annya pada diri Anda sendiri. Andalah yang menentukan usaha ini
berhasil atau tidak, menjadi besar atau tetap kecil, berputar atau teronggok mati.
Usaha kecil serba terbatas: modal tarbatas, karyawan sadikit, lokasi barpindah-pindah,
dan seterusnya.
Namun saat Anda memulai usaha dalam nuansa ‘penuh
keterbatasan’ itulah Anda merasakan ‘berkelebihan’. Anda menjadi lebih efisien
lebih berhati-hati, dan lebih teliti. Berbeda benar dengan usaha yahg bisa
langsung mempekerjakan banyak orang dengan space yang luas. Anda dapat lihat sendiri,
orang banyak mengangur dan tidak produktif. Jadi, tetaplah produktìf meski
penuh keterbatasan.
Supaya usaha Anda tidak stagnan maka Anda harus punya
keberanian, untuk berubah. Berubah atau mendiamkan terbawa arus gejolak jiwa
adalah suatu pilihan. Hidup hari ini seperti kemarin atau hari ini lebih baik daripada
kemarin. Anda sendiri yang memilihnya, Banyak orang memilih hidup yang stagnan
sehingga masalah yang dihadapi dari hari ke hari tetap sama. Sulitnya tetap
sama. Rezekinya pun tetap sama.
Padahal masalah yang Anda hadapi adalah ancaman bagi keberlangsungan
usaha Anda, namun peluang bagi mereka yang mau memperbaikinya. Orang-orang yang
melihat bagaimana cara kerja Anda akan memukul Anda dengan cara-cara yang lebih
efisien dan 1ebih modern. Oleh karena itu janganlah tanggung-tanggung dalam
berusaha. Anda hanya punya dua pilihan menjadi pengusaha biasa-biasa saja,
sekadar menumpang hidup, atau menjadi pengusaha luar blasa. Pengusaha luar
biasa tidak berusaha yang tanggung-tanggung. Tutup semua kekurangan dengan
menunda kesempatan hidup bermewah-mewah dan memperbesar investasi, baik dalam
fisik (bangunan) maupun nonfisik (citra usaha, sistem, keterampi1an karyawan,
hubungan jangka panjang, dan seterusnya).
Perhatikanlah pengusaha-pengusaha mikro dalam buku ini. Di
antara mereka ada yang sudah berpikir jauh ke depan, namun juga ada yang masih terbelenggu
masalah rutin yang sama sepanjang hari. Sekali lagi, Anda bebas memilih.
sumber : Buku:
Cracking Entrepreneurs, Penyusun:
Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Labels:
kisah kisah
minta info alamat lengkap pak koherri latief mas, atau nomor kontaknya. sya tertarik untuk liputan.
BalasHapus